Pada jaman ini belum dikenal psikologi sebagai ilmu yang berdiri sendiri, tetapi para filsuf yang hidup beberapa ratus tahun sebelum Masehi ini sudah mulai memikirkan tentang apakah jiwa itu?
Para filsuf itu dapat dibagi menjadi dua kelompok. Yang pertama adalah pandangan monoisme, yang masih menganggap jiwa itu identik dengan badan (Thales, Anaximander, Anaximenes, Hipocrates). Hipocrates (400-375 SM) misalnya, mempunyai teori bahwa karakter manusia dipengaruhi oleh cairan yang dominan dalam tubuh manusia:
- dominasi darah berkepribadian sanguinis (periang),
- sumsum hitam berkepribadian melankolis (pemurung),
- sumsum kuning: kholerik (gesit) dan,
- lendir: phlegmatik (lamban).
Pandangan dualisme, yaitu yang membedakan antara badan dan jiwa mulai dimulai oleh Socrates (469-399 SM) ketika melalui teknik wawancara (Socrates menyebutnya teknik maeutics), ia menemukan bahwa orang-orang miskin dan gelandangan pun mempunyai banyak pengetahuan dan jawaban terhadap berbagai masalah yang ada di dunia. Ia berkesimpulan bahwa di balik tubuh tentunya ada sesuatu yang bisa menghasilkan pengetahuan dan pemikiran itu yang disebutnya jiwa.
Plato (427-347 SM) murid Socrates kemudian berteori bahwa jiwa itu adalah ide yang berasal dari dunia ide dan baru menyusup ke dalam tubuh ketika manusia masih berbentuk janin dalam kandungan. Pandangan yang sangat sesuai dengan pandangan Islam tentang roh ini ("... Kutiupkan kepadanya roh ciptaan-Ku ..." QS. 38: 71,72 dan HR Bukhari, Muslim) kemudian dikembangkan oleh Plato dengan teori Trichotominya, yaitu bahwa jiwa mempunyai 3 fungsi:
- logisticon (berpikir) yang berpusat di kepala,
- thumeticon (merasa) yang berpusat di dada dan
- abdomen (berkehendak) yang berpusat di perut.
Sekali lagi pandangan ini pun sangat dekat dengan pandangan para filsuf Islam yang juga sependapat dengan Plato bahwa jiwa itu kekal atau kadim (antara lain: Abu Bakar ar Razi).
Tokoh berikut dari era ini adalah murid Plato yang bernama Aristoteles (384-322 SM). Sama dengan Plato dan Socrates, Aristoteles juga penganut dualisme, artinya: jiwa terpisah dari badan. Tetapi berbeda dari Plato yang berpaham nativisme (jiwa diperoleh sejak lahir), Aristoteles yang berpaham empirisme ini berpendapat bahwa jiwa tidak kekal, karena jiwa dibentuk melalui pengalaman dan jiwa itu (form) akan hilang jika tubuh manusia (matter) sudah mati, karena pada hakikatnya setiap benda terdiri dari matter yang berisi form dan form itu akan hilang bersama hilangnya matter.
Di sisi lain, Aristoteles mengemukakan suatu teori yang juga sangat dekat dengan pandangan para filsuf Islam berabad-abad kemudian, yaitu bahwa mahluk hidup terbagi dalam tiga jenis yaitu:
- anima vegetativa yang makan-minum dan berkembang biak tetapi tidak berindera (tumbuh-tumbuhan),
- anima sensitiva, mahluk berindera (hewan) dan
- anima intelektiva, mahluk berpikir (manusia).
Dalam istilah Ibnu Sina (980-1037) dan Al Gazali (1058-1111):
- jiwa nabati (an-nafs an-nabatiyah),
- jiwa hewani (an-nafs al-hayawaniyah) dan
- jiwa insani (an-nafs al-insaniyah).
No comments:
Post a Comment